Surabaya - Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Seperti sekolah Santa Maria, salah satu bagian dari cagar budaya yang perlu dirawat dan dilestarikan. Mengapa tergolong cagar budaya? Dikarenakan dari ciri khas bangunan kolonial yang dibangun sejak tahun 1922, hingga dikategorikan bangunan cagar budaya.
Bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding. Ruang dinding di sini adalah pembangunan gedung untuk kebutuhan pendidikan yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa, khususnya warga Surabaya.
Bagi penulis yang bekerja di SMA Santa Maria Surabaya, sekolah ini berawal dari jalan Kepanjen. Seiring berjalannya zaman yang berkembang pesat dikarenakan kondisi dan situasi saat itu, akhirnya para suster Ursulin mendirikan bangunan sekolah di Jalan Kupang yang sekarang dikenal Jalan Raya Darmo 49.
Di Jalan Raya Darmo 49 inilah cikal bakal perkembangan kemajuan sekolah yang kita banggakan karena ciri khas gedungnya yang lama dan kuat sampai sekarang.
Bangunan ini terdiri dari beberapa bagian yang dipakai untuk fasilitas sekolah dan biara. Di sini kanan terdapat bangunan untuk fasilitas Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Untuk Lantai 1 dipergunakan untuk SMP, sedangkan bangunan SMA menempati lantai dua. Menariknya, sampai sekarang bangunan ini masih utuh dan berdiri kokoh dan tidak tergerus perkembangan zaman.
Bangunan ini dibangun sejak zaman Belanda menjajah kota Surabaya. Hal ini dibuktikan dengan adanya Tetenger atau dalam Bahasa Indonesia yakni penanda. Tetenger ini berada di depan halaman sekolah sebelum pintu keluar. Di samping itu juga dibuktikan dengan plakat yang dipajang di portir atau ruang terima tamu biara yakni penghargaan pelestarian arsitektur pada zaman dulu.
Terlihat dari setiap bagiannya masih utuh, seperti lantai dan tangganya masih menggunakan bahan marmer yang berkualitas tinggi. Kusen-kusennya berbahan dasar kayu jati dengan arsitektur bergaya klasik dan berkombinasi kaca yang bermotif mosaik, serta kursi dan lemari masih orginal terbuat dari kayu jati. Diberbagai sudut kursi dan lemari masih dimanfaatkan dengan baik.
Dibandingkan dengan bangunan sekarang, bangunan era kolonial ini mempunyai daya tarik tersendiri. Struktur dan tata ruang sangat di pertimbangakan dengan baik. Misalnya, bangunan dengan atap tinggi dan banyaknya ventilasi membuat sirkulasi udara lancar dan selalu terasa sejuk, walaupun cuaca di Surabaya sangat panas.
Penulis dan pembaca perlu merasa bangga dengan memiliki bangunan bersejarah ini, seperti yang dikatakan Presiden Pertama kita, Ir. Soekarno. Beliau mengatakan Jas Merah yakni Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah. Ungkapan ini penting bagi kita untuk kita refleksikan.
Sebagai contoh sederhana, cara kita merawat dan melestarikan bangunan cagar budaya ini, seperti tidak mencoret-coret temboknya, tidak merubah bentuk, dan membuat lingkungan sekitar asri dengan taman indah yang dipenuhi tanaman hias. Intinya jaga bangunan cagar budaya ini supaya tetap kokoh berdiri di tengah-tengah kota Surabaya.
Tak hanya itu, bangunan sekolah Santa Maria ini mewarnai kemajuan kota Surabaya di bidang pendidikan dan bagian dari Surabaya Cantik di jalan protokol. Kemegahan ini menjadi indah dan bagus saat malam hari dengan penerangan lampu-lampu sorot yang diberbagai sudut gedung sekolah.
Ayo kita rawat dan lestarikan bangunan sekolah tercinta ini sebagai bangunan cagar budaya. Walaupun jadul, tetapi gaul. Nuansa gedung kuno yang tidak akan pernah tergerus oleh perkembangan zaman.
(Penulis: Laurentia Nindya H., A.Md., Tenaga Kependidikan)