News &
Updates

News Image

Share

Jejak Live In Budaya: Semburat Senyum di Yogyakarta
29 April 2025

Surabaya, Kampus Ursulin - Live In Budaya yang diadakan oleh SMA Santa Maria Surabaya merupakan sebuah aktivitas menetap dan terlibat dalam budaya atau kebiasaan hidup masyarakat tertentu, seringkali digunakan dalam konteks kegiatan belajar ataupun pengalaman wisata. Kegiatan ini memberikan pengalaman belajar yang lebih mendalam terkait budaya, serta meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap keragaman budaya. Pada tanggal 14 hingga 16 April 2025 kemarin, seluruh peserta didik kelas XII SMA Santa Maria Surabaya mengikuti Live In Budaya di daerah Sleman, Yogyakarta. Tak banyak hal yang dapat diceritakan kala berada di dalam bus. Hanya iringan musik bervolume keras yang selalu berganti, obrolan singkat, dan hamparan sawah berwarna hijau kekuningan yang menemani sepanjang perjalanan jauh menuju lokasi. Beberapa pasang mata turut mengamati bus yang melaju beriringan seolah bertanya, “Hendak pergi kemana kumpulan anak-anak muda ini?”.

Rintik gerimis yang menyapa beralih menjadi hujan deras, dan disinilah awal mula rentetan peristiwa menarik yang saya alami. Cipratan air hujan senantiasa mengenai celana panjang hitam yang saya kenakan. Mirisnya, celana panjang tersebut merupakan satu-satunya celana panjang yang saya bawa. Peristiwa lucu kembali menemui saya dan teman-teman satu rumah induk semang, yakni kala kami menjadi kelompok paling terakhir yang dijemput. Gelak tawa senantiasa terdengar, khususnya ketika saya dan salah seorang teman kebingungan mengikuti bapak yang telah terlebih dahulu melaju menggunakan sepeda motor sembari membawa koper kami dan mengantar dua teman yang lain. Saya dan ketiga teman perempuan dalam satu rumah yang sama disambut dengan begitu hangat oleh Bapak dan Ibu Dasiran. Diperlakukan layaknya anak sendiri, serta dimanja dengan berbagai camilan dan santapan yang tak hanya berlimpah, namun turut menggugah selera. Usai melakukan rekaman video untuk dikirimkan kepada orang tua yang cukup menguras keberanian, saya dan teman-teman mengobrol bersama bapak terkait anak-cucu yang dimiliki. 

Salah satu hal yang memikat perhatian saya adalah rumah induk semang yang rapi, sejuk, dan cenderung menonjol sebab berwarna ungu. Terdapat sebuah kandang sapi, ayam, dan kambing yang terletak di samping rumah. Suara kokok ayam yang tak menentu sempat membuat saya terbangun sebanyak tiga kali kala waktu subuh menjelang pagi tiba. Lokasi rumah yang berada pada lereng Gunung Merapi membuat saya hampir tidak berkeringat sama sekali, tidur lelap tanpa pendingin ruangan, bahkan mampu mengeluarkan kepulan napas dingin saat pagi hari. Sensasi mandi dengan air yang sangat dingin hingga mengeringkan rambut yang basah selepas keramas secara alami menggunakan kipas angin turut menjadi pengalaman unik tersendiri. Kasur sederhana berlapiskan seprai, sepasang bantal, dan sepasang selimut tebal sudah terlampau cukup bagi saya untuk merasa diperhatikan. Sebagai bentuk timbal balik, saya dan teman-teman membantu menyapu, serta mempersiapkan pincuk untuk makan malam bersama di balai desa. Peristiwa unik terjadi ketika saya membantu ibu-ibu untuk membentuk adonan gorengan dari bahan dasar singkong, yang dimana pedasnya cabai rawit masih terasa pada telapak tangan saya hingga beberapa jam. 

Pertunjukan tari, karawitan, dan nyinden yang memukau dipadukan dengan aktivitas belajar teknik tari tradisional dan membatik menggunakan canting, merupakan kombinasi yang mampu memperdalam wawasan dan memberikan pengalaman baru bagi saya terkait budaya Nusantara. 3 hari 2 malam berlalu dengan begitu cepat, sulit rasanya untuk berpisah dari suasana dingin desa dan perhatian hangat bapak-ibu disana. Sebagai ucapan terima kasih, saya bersama teman-teman satu rumah memberikan tali asih berupa teko kaca dan doa yang terbaik bagi mereka, dengan harapan suatu saat nanti dapat kembali sembari membawa wadah alat makan dan tudung saji baru yang lebih besar untuk diletakkan di atas meja makan. Tak disangka, saya turut mendapat camilan kue astor dan dua kardus berisi buah salak yang baru saja dipanen oleh bapak. Sebab terlampau asik mengobrol bersama bapak-ibu, saya dan teman-teman tidak sempat berfoto bersama. 

Udara di daerah kota Yogyakarta sangat berbanding terbalik dengan desa, panas terik menerpa kulit seolah memeras keringat untuk selalu mengalir. Kali pertama memijakkan kaki, saya cukup terkesan dengan luasnya trotoar bagi pejalan kaki dan toilet umum yang terletak di bawah tanah. Lokasi pertama yang dituju ialah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Keraton tersebut menyajikan keindahan yang beragam, mulai dari arsitektur bangunan yang khas, museum berisikan kebaya maupun tata cara adat perkawinan, penampilan karawitan, dan masih banyak lainnya. Selepas berkeliling, dua wanita yang semula memotret mulai mempromosikan jajaran foto wajah anak-anak SanMar dengan harga terjangkau. Delman dengan kudanya masih turut menjadi ikon budaya sekaligus transportasi yang menarik perhatian saya kala menyusuri Jalan Malioboro. Meski harus melintasi arus kendaraan bermotor yang cukup padat, hal tersebut setimpal dengan kesempatan membawa pulang oleh-oleh Bakpia Kukus Tugu Jogja untuk keluarga saya di Surabaya. 

Hanya menetap dalam rentang waktu yang singkat bukan berarti tidak mendapatkan pelajaran hidup yang berharga bagi kehidupan di masa mendatang. Begitu banyak nilai-nilai kehidupan yang saya dapatkan kala mengikuti Live In Budaya, yang dimana saya semakin berkembang dalam segi emosi, kedisiplinan, keikhlasan, empati dan kepekaan, persatuan dan toleransi, kerjasama atau gotong royong, sopan santun, kemauan untuk menghormati dan menghargai, kemauan untuk membantu, serta apresiasi dan pendalaman terhadap budaya tradisional Indonesia. Saya mampu mengontrol emosi secara lebih baik saat situasi serius dan tertekan, khususnya ketika belajar membatik menggunakan canting yang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan. Kedisiplinan yang saya miliki diasah melalui rutinitas bangun pagi dan mengikuti berbagai rangkaian kegiatan secara tepat waktu sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Keikhlasan saya tunjukkan melalui kemauan untuk menerima pembagian bus yang memisahkan saya dari teman-teman satu rumah dan kala teman-teman satu rumah menolak keinginan saya untuk bertukar kamar. 

Empati, kepekaan, dan kemauan untuk membantu saya tingkatkan melalui bersedia menyapu dan membantu ibu-ibu kala memasak. Toleransi, persatuan, dan kerjasama tampak ketika saya dengan teman-teman satu rumah menyapu, membuat pincuk, serta memasak bersama ibu-ibu. Sopan santun senantiasa saya tunjukkan melalui berpamitan terlebih dahulu kepada bapak-ibu sebelum bepergian, memanggil sebelum makan dan tidur, meminta izin untuk mendapatkan atau melakukan sesuatu, serta menyantap camilan yang dihidangkan. Sikap saling menghormati dan menghargai saya terapkan dalam aktivitas sehari-hari kala bertemu warga desa, yakni dengan menyapa bapak, ibu, maupun adik-adik yang ada disana. Saya meningkatkan apresiasi dan wawasan yang dimiliki dengan bersedia belajar menari, membatik, menyaksikan pertunjukan tradisional, serta mempelajari sejarah yang terdapat dalam bangunan Keraton Jogja. Besar harapan saya untuk dapat kembali menyusuri Yogyakarta, tak hanya sekadar melepas rindu dan tawa, namun turut kembali mengutip nilai-nilai hidup yang bermakna.

 

Penulis: Phoebe Marcia Lay (Kelas XII-4 / 24 - SMA Santa Maria Surabaya)