 
            Surabaya, Kampus Ursulin. Tingjing adalah tradisi lamaran formal yang sangat dihormati dalam kebudayaan Tionghoa, terutama di kalangan suku Hokkien. Tradisi ini berfungsi sebagai jembatan penghubung dua keluarga, sekaligus menjadi tanda keseriusan pihak lelaki untuk mendapat restu resmi. Tingjing merupakan langkah awal yang mengikat komitmen sebelum pasangan melangkah ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan.
Prosesi dimulai dengan kedatangan keluarga calon mempelai lelaki ke kediaman perempuan, membawa seserahan yang kaya akan simbolisme. Baki-baki hantaran tersebut harus berjumlah genap (6, 8, hingga 12), berisi buah-buahan manis sebagai lambang keberuntungan, dan kue-kue untuk kebahagiaan. Paling utama, hantaran ini wajib mencakup satu set perhiasan emas yang menjadi inti seserahan.

Puncak acara Tingjing adalah Prosesi Kalungan. Calon mempelai lelaki bersama ibunya (atau kerabat tertua) akan memasangkan perhiasan emas, seperti kalung, anting, atau gelang, kepada calon mempelai perempuan. Tindakan ini merupakan simbol pengikat hubungan, sekaligus penanda bahwa pihak perempuan telah diterima dengan restu penuh oleh keluarga lelaki.
Setelah prosesi kalungan, kedua keluarga akan bertukar sambutan dan beramah tamah, yang sering dilanjutkan dengan makan bersama untuk mempererat tali silaturahmi. Dalam momen ini, mereka juga sering membahas penentuan "hari baik" pernikahan, berdasarkan perhitungan Bazi (tanggal lahir kedua mempelai). Tingjing lebih dari sekadar pertukaran hadiah; ini adalah perwujudan nilai luhur penghormatan dan komitmen. Tradisi ini sarat akan harapan untuk kehidupan rumah tangga yang harmonis dan penuh berkah.
Penulis: Shassheril, Siswa kelas XI-2 SMA Santa Maria Surabaya